Hari ini UAS
hari terakhir di sekolahku. UAS sudah berlangsung sejak hari Senin sampai
sekarang atau Sabtu. Untuk kelas X, ada 16 matpel yang diujikan, sedangkan di
kelas XI–XII ada 13 matpel. Itu berarti setiap hari ada 2-3 matpel yang
diujikan untuk kelas X.
Seperti
biasa, guru mendapat tugas untuk menjadi pengawas. Ada 31 ruang kelas di SMAN 2 Sidoarjo.
Sementara jumlah guru 54 orang. Artinya, satu guru mengawasi satu ruang.
Dalam satu
ruang, ada kurang lebih 33–36 anak yang terdiri atas 2 jenjang kelas yang
berbeda. Maksud saya, 16–18 anak yang duduk di sebelah kiri adalah siswa kelas
X, sedangkan 16–18 anak yang duduk di sebelah kanan adalah murid kelas XI atau
XII. Hal ini dimaksudkan agar bisa mengurangi tindakan menyontek/mengerpek/bertanya jawaban kepada teman
lain.
Begitu bel
berbunyi, guru-guru pun masuk kelas dan membagikan lembar soal maupun lembar
jawab. Kurang lebih 15 tahun menjadi guru, saya tidak memperhatikan hal ini.
Tapi entahlah, mengapa pada kesempatan UAS ini kok ya saya tergelitik memperhatikannya.
Hal apa itu?
Sebuah hal kecil yang sering namun bisa jadi berefek besar: Rasa terima kasih. Loh, apa hubungannya UAS dengan rasa
terima kasih?
Ketika guru
membagikan lembar soal dan jawaban, saya melihat hanya ada beberapa siswa yang
mengucapkan terima kasih. Jujur saja, jika ada siswa yang mengucapkan terima
kasih ketika saya membagikan lemar soal dan jawab, saya merasa lebih dihargai
oleh siswa. Entah mengapa.
Mengucapkan
terima kasih berarti memberikan penghargaan/penghormatan kepada guru yang telah
membagikan lembaran soal. Itu adalah salah satu karakter dari 18 poin
pendidikan karakter.
Kalau kita membiasakan diri untuk memberikan ucapan terima kasih kepada orang lain, kita akan terbiasa menghargai orang lain, bukan?
Kalau kita membiasakan diri untuk memberikan ucapan terima kasih kepada orang lain, kita akan terbiasa menghargai orang lain, bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar