Rabu, 06 Februari 2013

Ling-Ling (1)

 
Kemarin (Jumat, 18 Januari 2013) adalah hari yang spesial buat Ling-Ling. Kukatakan spesial karena hari itu adalah ulang tahun pertamanya. Biasanya, para orang tua merayakan ulang tahun pertama anak-anak mereka, entah  di rumah, di resto cepat saji, maupun hanya sekadar bancakan bubur abang. Namun, beda dengan teman-teman Ling-Ling di panti. Tidak ada perayaan ulang tahun buat mereka. Jangankan perayaan ulang tahun, orang tuanya saja mereka tidak tahu. Apalagi, ulang tahun pastinya.
Sebab, orang tua mereka –mungkin karena kondisi ekonomi, sosial, psikologis, dan sebagainya– tidak bisa mengasuh mereka. Begitu juga Ling-Ling. Ibunya meninggal ketika melahirkannya dan ayahnya pun tidak sanggup merawatnya sehingga menyerahkannya ke Panti Millinium. Karena itulah, aku ingin merayakan ulang tahun pertamanya bersama teman-teman pantinya di panti.

*** 
Ling-Ling, begitulah aku menyebutnya. Seorang bayi yang aku temui sekitar tujuh atau delapan bulan lalu. Seorang bayi yang membuatku jatuh cinta ketika pertama melihatnya. Gerakan tubuhnya yang lucu, badannya yang gendut-menthek, pipinya yang chubby laksana tomat, bibir sigar jambe yang merah, dan matanya yang sayu-sipit membuatku menyukainya begitu bertemu dengannya. Nama aslinya sih Jadda Nuha. Entah apa artinya. Namun aku lebih suka memanggilnya Ling-Ling karena dia memang sipit, mirip bayi Cina. Sungguh, dia sangat cantik, bahkan cocok dijadikan model iklan bayi.
Sejak saat itu aku rajin mengunjunginya. Hampir setiap Minggu kusempatkan untuk menjenguknya sambil membawaknnya susu SGM 1. Aku begitu menyukainya. Bahkan, sudah beberapa kali aku menyatakan niat kepada Gus Mat, pemilik panti, agar aku diperkenankan untuk mengadopsinya atau merawatnya. Namun, apa jawab si Gus Mat? ”Semua anak panti tidak diperkenankan untuk diadopsi,” tegasnya.
Tentu saja aku kecewa. Tapi, ucapan Gus Mat tidak menghentikan keinginanku untuk terus berusaha mendapatkan Ling-Ling mungilku. Tiap kali sambang dan bertemu dengan si Gus, selalu ku-tembung dia agar mengizinkanku mengasuhnya. Mungkin sampai bosan Gus mendengar permintaanku.
Gus Mat orang sibuk (entah apa pekerjaannya, yang jelas aku jarang bertemu dengannya). Semua urusan panti dipasrahkan ke stafnya. Untuk keperluan bayi, semuanya diatur oleh pengasuh bayi. Karena itu, aku berusaha membina hubungan baik dengan Mbah Nur, pengasuh di kamar Nuha. Tiap kali pulang, kuberi dia duit Rp 20 ribu–Rp 50 ribu sambil bilang, ”Mbah, titip anak kulo nggih”. Makanya, Mbah Nur dan anak-anak panti memanggilku Mama Nuha.
Suatu siang aku ingat saat itu bulan Ramadan, ketika aku nyambangi si bayi kecilku, tiba-tiba Mbah Nur memberi tahu berita yang tidak pernah aku sangka. Aku ditanya Mbah. ”Mama Nuha, nopo purun tah mbeto Nuha. Nggih 2-3 dinten ngoten. Mangke dibangsulaken maleh. Tapi mpun ngomong Gus,” ucapnya. Tentu saja dengan sangat gembira kujawab, ”Sak estu tah Mbah? Nggih Mbah, kulo seneng. Mboten nopo-nopo tah?” Mbah Nur menjawab, ”Mboten, pokok Ayah (ayah adalah panggilan warga panti kepada Gus Mat) mboten ngertos. Mangke Bu Ida medal rumiyin, terus kulo nggih melu medal. Mangke ketemu teng ngajenge gerbang pondok”.
Seketika itu juga aku pamit. Si Mbah mengikutiku di belakang. Di luar gerbang panti, diberikannya Ling-Ling kepadaku. Aku sempat bingung bagaimana cara membawanya. Lha wong saat itu aku nyetir Swiftie kesayanganku sendirian, sementara aku harus nyetir pulang ke Surabaya (saat itu rumah di Citra Garden Sidoarjo belum selesai direnovasi). Mau dipangku nggak mungkin, mau nunggu suami jemput juga nggak mungkin wong hubby masih di luar pulau.
Akhirnya, kuputuskan dia kududukkan saja di kursi depan kiri sambil sandaran kursi dimundurkan dan kupakaikan seat belt agar dia tidak jatuh. Selama perjalanan, beberapa kali kulihat dia hampir menangis karena posisinya melorot atau mungkin karena dia merasa takut dan nggak nyaman. Maklum, itu pertama kalinya dia naik mobil. Perjalanan jauh pula. Tiap kali dia mulai mewek, tiap itu pula kutepikan mobil ke bahu jalan tol untuk menenangkan dan membetulkan posisinya. Sungguh, perjalanan yang mendebarkan.
Alhamdulillah, kami sampai di rumah orang tua dengan selamat. Betapa gembira orang tuaku mengetahui aku pulang dengan seorang bayi kesayanganku.
Keesokan harinya, kubawa dan kugendong baby-girl-ku ke Giant untuk jalan-jalan mencarikannya baju-baju, susu, dan mainan. Lucu sekali ketika kutaruh dia di shopping trolley-nya Giant. Dia pun tidak rewel, bahkan sepertinya dia sangat enjoy dengan jalan-jalannya. Maklum, seumur hidupnya, dia hanya tahu kamar dan teras pantinya saja. Mbah pantinya tidak pernah membawanya keluar dari panti. Bagaimana mau keluar, lha wong mbah pantinya punya tanggung jawab untuk merawat dan mengasuh 12 bayi di bawah 1 tahun, sendirian. Bayangkan, 12 bayi!
Malam harinya suami tiba dari luar kota. Sengaja aku tidak memberitahunya kalau ada seorang bayi mungil manis di sebelahku. Betapa terkejut dan senangnya dia begitu melihat si Ling-Ling. Heboh sekali dia. Dibikinnya list belanjaan apa yang harus dibeli buat our baby-girl. Mulai baju untuk Hari Raya Idul Fitri yang kurang 2 hari, baby seat-car, baby trolley, dan lain-lain. Keesokan paginya suami mengajak kami jalan-jalan ke Royal untuk membeli baby seat-car di Ace Hardware Royal, ke Matahari untuk beli baju-baju lucu dan ke baby shop untuk beli trolley. Suami kelihatan begitu gembira menggendong Ling-Ling sambil sesekali mengajaknya bicara dan mencium pipi montoknya. Sayang, baru 2 tujuan, kami sudah harus pulang. Suami ada janji dengan klien bisnisnya. Terpaksa baby trolley-nya ditunda dulu. (Bersambung. Cerita selanjutnya: Ling-Ling masuk UGD)

Citra Garden, 19 Januari 2013
(Ohh my Ling-Ling, Mommy already misses you)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar