KANGEN LING-LING: Panti Asuhan Millium. (Foto: http://masrama2603.multiply.com) |
Ya, tempat itu bernama Panti Asuhan Millinium. Sebuah panti asuhan yang
menampung anak-anak yatim/piatu/yatim piatu/telantar/duafa. Terletak di Jalan
Tenggulunan, Larangan, Sidoarjo, dengan lahan seluas kurang lebih 2.000 meter
persegi dan bangunan berarsitektur paduan Bali-Islam. Menara musalanya yang
tinggi dan berciri Bali bisa terlihat dengan jelas dari Jalan Tenggulunan.
Sebenarnya, bangunan di panti itu indah. Eksotik. Dengan dinding-dindingnya
yang berelief dan berwarna cerah oranye-hijau-kuning, seharusnya bangunan panti
itu terlihat indah. Namun, entah mengapa kawasan panti itu
terlihat kumuh dan bau. Sampah berserakan di mana-mana, jemuran berseliweran di
lantai atas, kotoran kucing di tanah, dan debu beterbangan. Mungkin karena jalan
akses belum diaspal/dipaving, siapa saja yang berkunjung ke sana bisa merasa nggak nyaman, bahkan bersin-bersin.
Belum lagi comberan yang bau dan penuh sisa-sisa nasi serta bau dan asap
kayu bakar yang ”mulek” menghasilkan aroma yang khas, ”aroma millinium” yang
sempat membuatku mual ketika pertama kali aku ke sana.
Pemilik panti itu bernama Muhammad Sholeh Effendi. Orang-orang menyebutnya Gus Mat. Usianya kurang lebih
45 tahun, berkulit hitam, dan berwajah manis. Anak-anak
panti menyebutnya Ayah. Gus Mat memiliki banyak istri. Istri pertamanya dari Bali. Istri kedua –yang juga santrinya sendiri– berasal dari Cirebon. Istri ketiganya masih kuliah asal Sidoarjo.
panti menyebutnya Ayah. Gus Mat memiliki banyak istri. Istri pertamanya dari Bali. Istri kedua –yang juga santrinya sendiri– berasal dari Cirebon. Istri ketiganya masih kuliah asal Sidoarjo.
Kalau tidak salah, Gus Mat pernah cerita padaku bahwa panti itu berdiri pada
1989. Santri pertamanya sudah berumur 20 tahunan, sudah kuliah. Saat ini ada
ratusan anak panti yang menghuni tempat itu. Ada puluhan bayi di sana yang
ditampung dalam empat kamar bayi. Untuk balita, ada beberapa kamar. Sementara
lantai atas dihuni anak-anak yang sudah agak besar atau besar.
Pertama kali berkunjung ke panti itu, entah berapa tahun lalu, aku hanya
masuk ke sekretariat dan memberikan bantuanku (kalau tidak salah berupa uang)
dan diterima salah seorang staf panti. Selanjutnya, secara rutin aku ke sana. Tiap
ke sana, aku upayakan membawa duit receh Rp 1.000 atau Rp 2.000-an segebok dan
makanan kecil/snack untuk anak-anak
panti. Setelah memberikan santunan, aku panggil salah satu anak panti dan
kuberi dia duit dan snack, sambil
saya bisiki dia, ”Le, celuken konco-koncomu.”
Dalam waktu kurang dari tiga menit, belasan bahkan puluhan anak sudah ada di
depanku. Kuberi mereka selembar uang ribuan dan satu pak snack. Betapa gembiranya mereka. Dalam sekejap, habislah uang dan snack di tangan. Tiap membagikan itu, aku
merasa menjadi orang paling beruntung.
Betapa beruntungnya aku dibanding anak-anak tersebut. Anak-anak yang
tidak tahu siapa orang tuanya karena sejak bayi sudah dititipkan (atau dibuang)
ke panti, anak-anak yang tidak punya saudara, sanak, kerabat. Yang mereka kenal
hanyalah si Ayah, pengasuh panti, dan teman-teman sesama penghuni panti.
Selama ini, meskipun sering berkunjung ke panti itu, aku belum pernah
masuk ke dalamnya, hanya ke sekretariat dan parkiran yang terletak di bagian
depan panti. Enam bulan lalu, aku masuk ke dalam
panti. Tidak tahu mengapa aku tiba-tiba tertarik untuk menengok kawasan bayi.
Di sebuah kamar yang paling ujung, aku berhenti dan masuk ke dalam kamar
berukuran 4 x 3 itu. Itu adalah kamar bayi. Dalam kamar itu, ada beberapa boks
bayi dimana dalam satu boks berisi 2-3 bayi. Kalau tidak salah ada 7-8 bayi.
Dari delapan bayi di bawah setahun itu, aku sangat tertarik dengan seorang bayi
cantik berumur enam bulan. Badannya yang montok dengan kulitnya yang putih
bersih dan pipi agak kemerahan serta bibir merah mungil –yang kulihat bentuknya
mirip bibirku– membuatku jatuh cinta padanya. Aku jatuh cinta pada pandangan
pertama!
Aku begitu menyukainya. Nama bayi cantik itu Jadda Nuha. Dia ”dibuang”
orang tuanya ketika dia masih berumur beberapa hari. Dia lahir prematur dan
tubuhnya sangat kecil. Berkat kesabaran mbah sang pengasuh bayi, bayi prematur
itu tumbuh sehat dan gemuk.
Aku tidak bisa melupakan wajah bayi mungil itu dari ingatanku. Rasanya aku
ingin menggendongnya lagi. Beberapa hari setelah itu, karena kerinduan yang
sangat, aku pergi ke Panti Milenium untuk menemuinya. Betapa senangnya aku bisa
melihat dan menggendongnya lagi. Akhirnya, setiap ada kesempatan, aku pergi
mengunjungi ”Ling-Ling”ku. Kupanggil dia Ling-ling karena kulitnya yang putih
dan matanya sipit seperti mata orang Cina. Karena sering bercengkerama dengan
di kamar bayi tempat Ling-Ling berada, aku akhirnya kenal dengan penghuni kamar
Ling-Ling.
Mbah pengasuhnya bernama Mbahe
Nur. Aku lupa, entah siapa namanya, biasanya aku hanya menyebutnya Mbah. Dia
seorang janda berumur 55 tahunan dan mempunyai dua cucu, yakni Nur dan Dian,
yang juga tinggal di panti itu. Nur bersekolah di salah satu MTs dan Dian masih
SD. Keduanya yatim piatu. Mereka diasuh oleh mbah mereka karena sudah ditinggal
mati oleh ayah ibunya tiga tahun lalu.
Di ujung boks yang juga boksnya Ling-ling, ada seorang bayi laki-laki
bernama Harun, sebulan lebih tua daripada Ling-Ling. Kulitnya putih, beralis
tebal, dan berbibir merah. Ganteng sekali, sayang kakinya cacat. Telapak
kakinya menceng tidak bisa menapak.
Harus dioperasi agar dia bisa jalan nanti.
Di sebelah boks Ling-Ling, tidurlah Wahyu, seorang bayi laki-laki tiga bulan
lebih tua daripada Ling-Ling. Kasihan sekali, dia menderita radang otak. Dia sering
keluar masuk rumah sakit karena penyakitnya. Ketika dia ingin sesuatu dan keinginannya
tidak terlaksana, dia suka membentur-benturkan kepalanya ke pinggiran boks
sambil menangis. Aku kerap iba melihatnya. Karena penyakitnya itu, Wahyu
tinggal sendirian di boks.
Di samping boks Wahyu, ada sebuah boks lagi yang dihuni oleh dua bayi: Duro
dan Elok. Duro seorang bayi laki-laki, berumur sebulan lebih muda daripada
Ling-Ling. Sebenarnya wajahnya ganteng, namun bibirnya sumbing parah sehingga
kesan yang terlihat dari Duro adalah menyeramkan. Kulitnya putih, badannya
kurus, dan kepalanya agak gepeng. Yang lebih mengherankan, dua ibu jarinya bercabang
sehingga dia memiliki 12 jari tangan. Karena dia tidak tahan dengan susu sapi,
pengasuh pondok memberinya susu soya.
Di sebelah Duro, ada bayi manis juga yang sedang tertidur. Dia dua bulan
lebih muda daripada Ling-Ling. Manis sekali dia. Mukanya oval dan nyaris
membuatnya
kelihatan manis. Sayang, badannya kecil dan kurus. (Bersambung)
kelihatan manis. Sayang, badannya kecil dan kurus. (Bersambung)
Tenggulunan, Kamis, 29 November 2012
(Terinspirasi menulis setelah mengunjungi Panti Millinium barusan, sembari mbrebes mili menuliskan kalimat demi
kalimat)
jujur pengen banget aku kesana. seandainya aja uangku banyak, semua bisa aku urus. hehehe... gak tega lihatnya
BalasHapusSama mb, aku di semarang dan anakku 2 kecil2 semua, seandainya ak di sidoarjO psti ak sempetin nengok, kalo adopsi sih ga mungkin, aku berharap smoga ada org kaya yg baik hati dan amanah mau ambil alih mengurus bayi2 itu, kasian ya ��
BalasHapusSaya juga kesana kemarin akhir october 2016. Saya juga jatuh cinta dengan salah satu bayi disana namanya Abdullah. Sama seperti yang mbak rasakan , luka juga yang saya dapatkan disana, tetapi ada kerinduan yang sangat juga untuk kembali berkunjung kesana. Semoga mereka selalu dilimpahi kebahagiaan oleh Allah SWT.
BalasHapusAssalamualaikum..
BalasHapusMbak Ida Tisrina.. mohon informasi bila kita mau berkunjung dan memberikan santunan ke Panti Asuhan Millinium ini, apakah afa Prosedur khusus untuk menemui pemilik panti duluan untuk memohon ijin atau bisa langsung kesana, nggih mbak Ida Tristina..
Maturnuwun sanget sebelumnya nggih mbak Ida..
Ibu RW
Surabaya
HP: 0821-4393-0333 (Whatsupp)
Sy bu desy sidoarjo,jg berniat kesana,langsung sj bu
Hapus