Selasa, 04 Desember 2012

Panti Millinium (1)

KANGEN LING-LING: Panti Asuhan Millium. (Foto: http://masrama2603.multiply.com)
Entah sudah berapa kali aku mengunjungi tempat itu. Rasanya sudah puluhan kali, bahkan mungkin lebih. Sebuah tempat yang selalu meninggalkan luka tiap kali aku mengunjunginya. Anehnya, meskipun luka yang kurasa, aku selalu ingin ke tempat itu, lagi dan lagi.
Ya, tempat itu bernama Panti Asuhan Millinium. Sebuah panti asuhan yang menampung anak-anak yatim/piatu/yatim piatu/telantar/duafa. Terletak di Jalan Tenggulunan, Larangan, Sidoarjo, dengan lahan seluas kurang lebih 2.000 meter persegi dan bangunan berarsitektur paduan Bali-Islam. Menara musalanya yang tinggi dan berciri Bali bisa terlihat dengan jelas dari Jalan Tenggulunan.

Sebenarnya, bangunan di panti itu indah. Eksotik. Dengan dinding-dindingnya yang berelief dan berwarna cerah oranye-hijau-kuning, seharusnya bangunan panti itu terlihat indah. Namun, entah mengapa kawasan panti itu terlihat kumuh dan bau. Sampah berserakan di mana-mana, jemuran berseliweran di lantai atas, kotoran kucing di tanah, dan debu beterbangan. Mungkin karena jalan akses belum diaspal/dipaving, siapa saja yang berkunjung ke sana bisa merasa nggak nyaman, bahkan bersin-bersin.
Belum lagi comberan yang bau dan penuh sisa-sisa nasi serta bau dan asap kayu bakar yang ”mulek” menghasilkan aroma yang khas, ”aroma millinium” yang sempat membuatku mual ketika pertama kali aku ke sana.
Pemilik panti itu bernama Muhammad Sholeh Effendi. Orang-orang menyebutnya Gus Mat. Usianya kurang lebih 45 tahun, berkulit hitam, dan berwajah manis. Anak-anak
panti menyebutnya Ayah.
Gus Mat memiliki banyak istri. Istri pertamanya dari Bali. Istri kedua –yang juga santrinya sendiri– berasal dari Cirebon. Istri ketiganya masih kuliah asal Sidoarjo.
Kalau tidak salah, Gus Mat pernah cerita padaku bahwa panti itu berdiri pada 1989. Santri pertamanya sudah berumur 20 tahunan, sudah kuliah. Saat ini ada ratusan anak panti yang menghuni tempat itu. Ada puluhan bayi di sana yang ditampung dalam empat kamar bayi. Untuk balita, ada beberapa kamar. Sementara lantai atas dihuni anak-anak yang sudah agak besar atau besar.
Pertama kali berkunjung ke panti itu, entah berapa tahun lalu, aku hanya masuk ke sekretariat dan memberikan bantuanku (kalau tidak salah berupa uang) dan diterima salah seorang staf panti. Selanjutnya, secara rutin aku ke sana. Tiap ke sana, aku upayakan membawa duit receh Rp 1.000 atau Rp 2.000-an segebok dan makanan kecil/snack untuk anak-anak panti. Setelah memberikan santunan, aku panggil salah satu anak panti dan kuberi dia duit dan snack, sambil saya bisiki dia, ”Le, celuken konco-koncomu.”
Dalam waktu kurang dari tiga menit, belasan bahkan puluhan anak sudah ada di depanku. Kuberi mereka selembar uang ribuan dan satu pak snack. Betapa gembiranya mereka. Dalam sekejap, habislah uang dan snack di tangan. Tiap membagikan itu, aku merasa menjadi orang paling beruntung.
Betapa beruntungnya aku dibanding anak-anak tersebut. Anak-anak yang tidak tahu siapa orang tuanya karena sejak bayi sudah dititipkan (atau dibuang) ke panti, anak-anak yang tidak punya saudara, sanak, kerabat. Yang mereka kenal hanyalah si Ayah, pengasuh panti, dan teman-teman sesama penghuni panti.
Selama ini, meskipun sering berkunjung ke panti itu, aku belum pernah masuk ke dalamnya, hanya ke sekretariat dan parkiran yang terletak di bagian depan panti. Enam bulan lalu, aku masuk ke dalam panti. Tidak tahu mengapa aku tiba-tiba tertarik untuk menengok kawasan bayi.
Di sebuah kamar yang paling ujung, aku berhenti dan masuk ke dalam kamar berukuran 4 x 3 itu. Itu adalah kamar bayi. Dalam kamar itu, ada beberapa boks bayi dimana dalam satu boks berisi 2-3 bayi. Kalau tidak salah ada 7-8 bayi. Dari delapan bayi di bawah setahun itu, aku sangat tertarik dengan seorang bayi cantik berumur enam bulan. Badannya yang montok dengan kulitnya yang putih bersih dan pipi agak kemerahan serta bibir merah mungil –yang kulihat bentuknya mirip bibirku– membuatku jatuh cinta padanya. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama!
Aku begitu menyukainya. Nama bayi cantik itu Jadda Nuha. Dia ”dibuang” orang tuanya ketika dia masih berumur beberapa hari. Dia lahir prematur dan tubuhnya sangat kecil. Berkat kesabaran mbah sang pengasuh bayi, bayi prematur itu tumbuh sehat dan gemuk.
Aku tidak bisa melupakan wajah bayi mungil itu dari ingatanku. Rasanya aku ingin menggendongnya lagi. Beberapa hari setelah itu, karena kerinduan yang sangat, aku pergi ke Panti Milenium untuk menemuinya. Betapa senangnya aku bisa melihat dan menggendongnya lagi. Akhirnya, setiap ada kesempatan, aku pergi mengunjungi ”Ling-Ling”ku. Kupanggil dia Ling-ling karena kulitnya yang putih dan matanya sipit seperti mata orang Cina. Karena sering bercengkerama dengan di kamar bayi tempat Ling-Ling berada, aku akhirnya kenal dengan penghuni kamar Ling-Ling.
Mbah pengasuhnya bernama Mbahe Nur. Aku lupa, entah siapa namanya, biasanya aku hanya menyebutnya Mbah. Dia seorang janda berumur 55 tahunan dan mempunyai dua cucu, yakni Nur dan Dian, yang juga tinggal di panti itu. Nur bersekolah di salah satu MTs dan Dian masih SD. Keduanya yatim piatu. Mereka diasuh oleh mbah mereka karena sudah ditinggal mati oleh ayah ibunya tiga tahun lalu.
Di ujung boks yang juga boksnya Ling-ling, ada seorang bayi laki-laki bernama Harun, sebulan lebih tua daripada Ling-Ling. Kulitnya putih, beralis tebal, dan berbibir merah. Ganteng sekali, sayang kakinya cacat. Telapak kakinya menceng tidak bisa menapak. Harus dioperasi agar dia bisa jalan nanti.
Di sebelah boks Ling-Ling, tidurlah Wahyu, seorang bayi laki-laki tiga bulan lebih tua daripada Ling-Ling. Kasihan sekali, dia menderita radang otak. Dia sering keluar masuk rumah sakit karena penyakitnya. Ketika dia ingin sesuatu dan keinginannya tidak terlaksana, dia suka membentur-benturkan kepalanya ke pinggiran boks sambil menangis. Aku kerap iba melihatnya. Karena penyakitnya itu, Wahyu tinggal sendirian di boks.
Di samping boks Wahyu, ada sebuah boks lagi yang dihuni oleh dua bayi: Duro dan Elok. Duro seorang bayi laki-laki, berumur sebulan lebih muda daripada Ling-Ling. Sebenarnya wajahnya ganteng, namun bibirnya sumbing parah sehingga kesan yang terlihat dari Duro adalah menyeramkan. Kulitnya putih, badannya kurus, dan kepalanya agak gepeng. Yang lebih mengherankan, dua ibu jarinya bercabang sehingga dia memiliki 12 jari tangan. Karena dia tidak tahan dengan susu sapi, pengasuh pondok memberinya susu soya.
Di sebelah Duro, ada bayi manis juga yang sedang tertidur. Dia dua bulan lebih muda daripada Ling-Ling. Manis sekali dia. Mukanya oval dan nyaris membuatnya
kelihatan manis. Sayang, badannya kecil dan kurus. (Bersambung)

Tenggulunan, Kamis, 29 November 2012
(Terinspirasi menulis setelah mengunjungi Panti Millinium barusan, sembari mbrebes mili menuliskan kalimat demi kalimat)

5 komentar:

  1. jujur pengen banget aku kesana. seandainya aja uangku banyak, semua bisa aku urus. hehehe... gak tega lihatnya

    BalasHapus
  2. Sama mb, aku di semarang dan anakku 2 kecil2 semua, seandainya ak di sidoarjO psti ak sempetin nengok, kalo adopsi sih ga mungkin, aku berharap smoga ada org kaya yg baik hati dan amanah mau ambil alih mengurus bayi2 itu, kasian ya ��

    BalasHapus
  3. Saya juga kesana kemarin akhir october 2016. Saya juga jatuh cinta dengan salah satu bayi disana namanya Abdullah. Sama seperti yang mbak rasakan , luka juga yang saya dapatkan disana, tetapi ada kerinduan yang sangat juga untuk kembali berkunjung kesana. Semoga mereka selalu dilimpahi kebahagiaan oleh Allah SWT.

    BalasHapus
  4. Assalamualaikum..
    Mbak Ida Tisrina.. mohon informasi bila kita mau berkunjung dan memberikan santunan ke Panti Asuhan Millinium ini, apakah afa Prosedur khusus untuk menemui pemilik panti duluan untuk memohon ijin atau bisa langsung kesana, nggih mbak Ida Tristina..
    Maturnuwun sanget sebelumnya nggih mbak Ida..

    Ibu RW
    Surabaya
    HP: 0821-4393-0333 (Whatsupp)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sy bu desy sidoarjo,jg berniat kesana,langsung sj bu

      Hapus