Ceria. (Foto: dok. pribadi) |
Ada yang menggunakan
baju model Syahrini. Ada
yang memakai jubah panjang nan anggun. Ada
juga model atasan-bawahan. Warnanya pun beragam. Sepertinya, hampir semua warna
ada: kuning, hitam, putih, merah anggur, cokelat, ungu, dan sebagainya. Hanya
saya yang memakai seragam dinas pemda, seragam cokelat khaki lengkap dengan
atributnya. (Capek deh, nggak bisa ikutan mejeng, kikikik).
Tiga mobil itu
terdiri atas sebuah Innova abu-abu, Innova hitam, dan black Panther.
Mobil black Panther, mobil mantan Kepsek saya, dikemudikan oleh Pak Sopir.
Sementara mobil Innova dikemudikan oleh ibu-ibu sendiri. Saya tidak bawa mobil
sendiri, cukup duduk manis di black Panther.
Meeting point dilakukan di
depan SMAN 2 Sidoarjo karena memang jarak dari SMAN 2 ke Panti Millinium hanya
1 km. Namun, karena Jalan Tenggulunan ditutup karena ada proyek pembangunan
jalan layang, kami harus berputar lewat kota dengan rute Jl Pahlawan-Gajah
Mada-Larangan-Tenggulunan dan selanjutnya masuk gang kecil. Dengan rute ini,
kami bisa masuk ke panti, tapi lewat gerbang belakang. Jarang ada orang yang
tahu rute ini.
Sebenarnya,
ibu-ibu estewe cantik tersebut sering ke Sidoarjo. Namun, namanya sudah estewe,
kecepatan dan kelincahan mereka mengemudi sudah agak menurun. Bagaimana tidak,
beberapa kali mobil Panther yang ada di depan harus berhenti dan menunggu dua
mobil lain karena mereka salah ambil jalur atau mereka tidak kelihatan. Padahal,
menurut saya, kecepatan Panther sudah sangat lambat. Seharusnya, yang namanya
rombongan, ya jalannya beriringan. Ya, karena jalannya pelan, akhirnya
mobil-mobil lain masuk di antara iring-iringan kami. Dan akhirnya kami terpisah
karena lampu merah atau mereka ambil belokan yang salah. "Mentolo tak sopiri
dewe," batin saya saat itu.
Pukul 11.30 kami
sampai di panti. Kebetulan ketika kami sampai di gerbang belakang, mobil Elf -mobil
khusus antar jemput anak panti- juga sedang menurunkan penumpang. Saya pun
turun turun dari mobil, diikuti oleh ibu-ibu yang lain. Beberapa anak menyambut
saya sambil teriak, ”Mama Nuha... Mama Nuha... Mama Nuha...” sambil menuju ke
arah saya dan mengulurkan tangan mereka (Jawa = salim). Ya, saya dikenal
oleh mereka karena saya sudah sangat sering ke panti ini, hampir seminggu
sekali. Nuha -atau saya memanggilnya Ling-Ling- adalah anak panti yang sangat
ingin saya adopsi, namun tidak diperbolehkan oleh Gus Mat, si pemilik panti.
(Kisah tentang Ling-Ling ada pada episode berikutnya).
Salah satu anak
yang menyambut saya adalah Mariam, seorang anak cebol berumur 8 tahun dengan IQ
di bawah rata-rata. Bahkan (maaf) dia masih sering buang kotoran di celana.
Kulitnya yang cokelat dan kasar, rambut merah potongan pendek awut-awutan,
hidung pesek, mata juling tajam, dan bibir yang jarang senyum membuatnya
menjadi sosok yang menakutkan. Bahkan, saya yang sudah setua ini merasa
ketakutan dan kaget ketika pertama kali berjumpa dan bertatap mata dengannya
dulu. Dia menatap saya dengan pandangan matanya yang tajam dan terlihat begitu
sadis. Untung, saya bisa mengendalikan diri dengan memberinya senyum termanis
saya. Namun, dengan gayanya yang cuek, dia hanya melenggang melewati saya tanpa
membalas senyum manis saya.
Tetapi, setelah
beberapa kali bertemu, dia pun takluk. Gara-garanya, dalam suatu kesempatan,
saya membawakannya sepasang jepit rambut berwarna pink. Senang sekali
dia. Saat itu juga Maryam meminta Mbah Nur untuk memakaikan jepit pink
itu. Sejak saat itu, sikapnya kepada saya berubah.
Sekarang, begitu
dia melihat saya turun dari mobil, sambil setengah berlari (tapi orang cebol
tidak bisa berlari, hanya berjalan agak cepat), dia pun berteriak ”Mama Nuha”.
Dia pun mencium tangan saya, menggandeng saya, dan mempersilakan saya masuk ke
kamar bayi di mana Ling-ling berada. Biasanya, saya memberinya selembar Rp 2.000
dan setelah itu dia menghilang entah ke mana. Dan kembali lagi sambil membawa
es atau snack dan memamerkannya pada saya. Dia juga suka bakso. Pada
siang hari biasanya ada penjual bakso keliling yang masuk ke dalam lingkungan
panti.
Kalau ada saya,
saya membelikannya bersama Dian, cucu Mbah Nur yang kecil. Entah siapa yang
membelikannya kalau saya pas tidak ke sana.
Mungkin tamu lain, atau Mbah Nur, atau mungkin dia hanya menelan ludah.
Dengar-dengar
cerita, Maryam dulu ditemukan oleh seseorang di dekat semak-semak terpencil.
Orang tersebut sudah berusaha menyerahkan bayi malang itu ke beberapa panti, namun tidak ada
panti yang bersedia karena kondisi fisiknya yang cacat dan menakutkan. Kasihan
sekali kondisinya saat itu. Entah mengapa orang tuanya membuangnya. Apa
gara-gara fisiknya yang cacat? Atau wajahnya yang menakutkan?
Sungguh keterlaluan orang tuanya. Bagaimana kalau bayi tidak bersalah tadi dimakan anjing atau tidak ada orang yang menemukan? Bisa-bisa dia mati kelaparan kedinginan. Ya Allah... Tidak bisa saya membayangkannya.
Sungguh keterlaluan orang tuanya. Bagaimana kalau bayi tidak bersalah tadi dimakan anjing atau tidak ada orang yang menemukan? Bisa-bisa dia mati kelaparan kedinginan. Ya Allah... Tidak bisa saya membayangkannya.
Dunia, dunia,
betapa kau sudah tua... (Bersambung)
Sidoarjo, 4
Desember 2012
Selamat-selamat. Bagus Mbak Ida blog plus isinya.
BalasHapusSalam
Irfan
sungguh tidak pernah terbayangkan sebelumnya ketika melihat bayi-bayi mungil di deretan kamar kecil yang merupakan bayi buangan / titipan. satu pengasuh dalam sebuah kamar kadang harus merawat 7-9 anak kecil. Subhanallah. benar2 kuasanya Allah. dan memberikan amanah itu kepada Panti millinium dan memberikan kesadaran kepada para donaturnya.
BalasHapusSalam :)
UKM Konveksi Surabaya