Selasa, 04 Desember 2012

Panti Millinium (2)

Ceria. (Foto: dok. pribadi)
Kemarin siang (4/12) sekitar pukul 11.00, saya dimintai tolong mantan kepala sekolah saya, Bu Titik, istri Pak Kadar dosen teknik sipil ITS, untuk mengantarkan rombongan ibu-ibu pengajian Al Hikmah-perumahan dosen ITS ke Panti Millinium Sidoarjo. Rombongan ibu-ibu STW (setengah tua) tersebut terbagi menjadi tiga mobil. Meskipun sudah estewe, gaya mereka tetap modis dan terlihat manis.
Ada yang menggunakan baju model Syahrini. Ada yang memakai jubah panjang nan anggun. Ada juga model atasan-bawahan. Warnanya pun beragam. Sepertinya, hampir semua warna ada: kuning, hitam, putih, merah anggur, cokelat, ungu, dan sebagainya. Hanya saya yang memakai seragam dinas pemda, seragam cokelat khaki lengkap dengan atributnya. (Capek deh, nggak bisa ikutan mejeng, kikikik).

Tiga mobil itu terdiri atas sebuah Innova abu-abu, Innova hitam, dan black Panther. Mobil black Panther, mobil mantan Kepsek saya, dikemudikan oleh Pak Sopir. Sementara mobil Innova dikemudikan oleh ibu-ibu sendiri. Saya tidak bawa mobil sendiri, cukup duduk manis di black Panther.
Meeting point dilakukan di depan SMAN 2 Sidoarjo karena memang jarak dari SMAN 2 ke Panti Millinium hanya 1 km. Namun, karena Jalan Tenggulunan ditutup karena ada proyek pembangunan jalan layang, kami harus berputar lewat kota dengan rute Jl Pahlawan-Gajah Mada-Larangan-Tenggulunan dan selanjutnya masuk gang kecil. Dengan rute ini, kami bisa masuk ke panti, tapi lewat gerbang belakang. Jarang ada orang yang tahu rute ini.
Sebenarnya, ibu-ibu estewe cantik tersebut sering ke Sidoarjo. Namun, namanya sudah estewe, kecepatan dan kelincahan mereka mengemudi sudah agak menurun. Bagaimana tidak, beberapa kali mobil Panther yang ada di depan harus berhenti dan menunggu dua mobil lain karena mereka salah ambil jalur atau mereka tidak kelihatan. Padahal, menurut saya, kecepatan Panther sudah sangat lambat. Seharusnya, yang namanya rombongan, ya jalannya beriringan. Ya, karena jalannya pelan, akhirnya mobil-mobil lain masuk di antara iring-iringan kami. Dan akhirnya kami terpisah karena lampu merah atau mereka ambil belokan yang salah. "Mentolo tak sopiri dewe," batin saya saat itu.
Pukul 11.30 kami sampai di panti. Kebetulan ketika kami sampai di gerbang belakang, mobil Elf -mobil khusus antar jemput anak panti- juga sedang menurunkan penumpang. Saya pun turun turun dari mobil, diikuti oleh ibu-ibu yang lain. Beberapa anak menyambut saya sambil teriak, ”Mama Nuha... Mama Nuha... Mama Nuha...” sambil menuju ke arah saya dan mengulurkan tangan mereka (Jawa = salim). Ya, saya dikenal oleh mereka karena saya sudah sangat sering ke panti ini, hampir seminggu sekali. Nuha -atau saya memanggilnya Ling-Ling- adalah anak panti yang sangat ingin saya adopsi, namun tidak diperbolehkan oleh Gus Mat, si pemilik panti. (Kisah tentang Ling-Ling ada pada episode berikutnya).
Salah satu anak yang menyambut saya adalah Mariam, seorang anak cebol berumur 8 tahun dengan IQ di bawah rata-rata. Bahkan (maaf) dia masih sering buang kotoran di celana. Kulitnya yang cokelat dan kasar, rambut merah potongan pendek awut-awutan, hidung pesek, mata juling tajam, dan bibir yang jarang senyum membuatnya menjadi sosok yang menakutkan. Bahkan, saya yang sudah setua ini merasa ketakutan dan kaget ketika pertama kali berjumpa dan bertatap mata dengannya dulu. Dia menatap saya dengan pandangan matanya yang tajam dan terlihat begitu sadis. Untung, saya bisa mengendalikan diri dengan memberinya senyum termanis saya. Namun, dengan gayanya yang cuek, dia hanya melenggang melewati saya tanpa membalas senyum manis saya.
Tetapi, setelah beberapa kali bertemu, dia pun takluk. Gara-garanya, dalam suatu kesempatan, saya membawakannya sepasang jepit rambut berwarna pink. Senang sekali dia. Saat itu juga Maryam meminta Mbah Nur untuk memakaikan jepit pink itu. Sejak saat itu, sikapnya kepada saya berubah.
Sekarang, begitu dia melihat saya turun dari mobil, sambil setengah berlari (tapi orang cebol tidak bisa berlari, hanya berjalan agak cepat), dia pun berteriak ”Mama Nuha”. Dia pun mencium tangan saya, menggandeng saya, dan mempersilakan saya masuk ke kamar bayi di mana Ling-ling berada. Biasanya, saya memberinya selembar Rp 2.000 dan setelah itu dia menghilang entah ke mana. Dan kembali lagi sambil membawa es atau snack dan memamerkannya pada saya. Dia juga suka bakso. Pada siang hari biasanya ada penjual bakso keliling yang masuk ke dalam lingkungan panti. 
Kalau ada saya, saya membelikannya bersama Dian, cucu Mbah Nur yang kecil. Entah siapa yang membelikannya kalau saya pas tidak ke sana. Mungkin tamu lain, atau Mbah Nur, atau mungkin dia hanya menelan ludah.
Dengar-dengar cerita, Maryam dulu ditemukan oleh seseorang di dekat semak-semak terpencil. Orang tersebut sudah berusaha menyerahkan bayi malang itu ke beberapa panti, namun tidak ada panti yang bersedia karena kondisi fisiknya yang cacat dan menakutkan. Kasihan sekali kondisinya saat itu. Entah mengapa orang tuanya membuangnya. Apa gara-gara fisiknya yang cacat? Atau wajahnya yang menakutkan?
Sungguh keterlaluan orang tuanya. Bagaimana kalau bayi tidak bersalah tadi dimakan anjing atau tidak ada orang yang menemukan? Bisa-bisa dia mati kelaparan kedinginan. Ya Allah... Tidak bisa saya membayangkannya.
Dunia, dunia, betapa kau sudah tua... (Bersambung)

Sidoarjo, 4 Desember 2012

2 komentar:

  1. Selamat-selamat. Bagus Mbak Ida blog plus isinya.

    Salam
    Irfan

    BalasHapus
  2. sungguh tidak pernah terbayangkan sebelumnya ketika melihat bayi-bayi mungil di deretan kamar kecil yang merupakan bayi buangan / titipan. satu pengasuh dalam sebuah kamar kadang harus merawat 7-9 anak kecil. Subhanallah. benar2 kuasanya Allah. dan memberikan amanah itu kepada Panti millinium dan memberikan kesadaran kepada para donaturnya.
    Salam :)
    UKM Konveksi Surabaya

    BalasHapus